Khazanah Islam

Jual Beli Kredit dan Hukumnya Menurut Islam

Saat ini apa sih yang tidak bisa dikredit. semua barang bisa dibeli dengan kredit. Beberapa orang bahkan merasa cerdas bila membeli secara kredit. Walaupun memiliki tabungan namun tabungan dipersiapkan sebagai uang kas yang siap pakai. Bagaimana hukum Jual Beli secara Kredit dalam Islam?

Ada yang pendapat yang mengharamkan karena menganggap transaksi atas barang ribawi.

Namun ada pula pendapat yang menghalalkan seperti dikutip dari republika dengan penjelasan sebagai berikut:

Jual beli kredit merupakan suatu mekanisme jual beli, yaitu jual beli dengan cara harga barang dibayarkan secara berkala dalam jangka waktu yang disepakati.

Dalam jual beli kredit, penjual harus menyerahkan barang secara kontan, sedangkan pembeli membayar harga barang secara bertahap dalam jumlah dan jangka waktu tertentu yang telah disepakati.

Harga yang disepakati dalam jual beli kredit yang lazim berlaku adalah Harga jual lebih tinggi dari harga pasar yang sebenarnya jika barang tersebut dibayar secara tunai, karena ada kepentingan penjual untuk menaikkan harga jual lebih tinggi dengan sebab adanya penambahan jangka waktu pembayaran.

Ketentuan-ketentuan dalam jual beli kredit antara lain adalah:

1. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang harga kredit dan jangka waktu pembayaran.

2. Penjual dan pembeli harus menentukan akad jual beli dari mekanisme yang ditawarkan, yaitu tunai atau kredit.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, Abu Dawud dan al-Baihaqi disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menjual dua transaksi dalam satu transaksi, maka baginya kerugiannya atau riba.” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Ulama menafsirkan, yang dimaksud dengan “dua akad dalam satu transaksi”, misalnya, seseorang berkata: “Aku jual sepeda motor ini, tunai seharga Rp 20.000.000, kredit Rp 25.000.000,” kemudian keduanya berpisah dari majelis akad tanpa ada kesepakatan pembelian, tunai atau kredit.

Maka akad jual beli ini batal adanya. Adapun ketika pembeli menentukan satu pilihan dari dua opsi yang ditawarkan, maka jual beli itu sah, dan berlaku atas harga yang disepakati.

3. Ketentuan jual beli kredit dalam syara’ hanya ada dua pihak yang terkait, yakni pihak yang memberikan kredit (penjual) dan yang menerima kredit (pembeli).

Dengan demikian, jual beli kredit yang di dalamnya terdapat tiga pihak yang terkait, yakni pembeli, leasing (bank) dan penjual tidak diperbolehkan oleh syara’.

Misalnya, seorang pembeli datang kepada dealer sepeda motor (penjual) untuk membeli sebuah sepeda motor secara kredit, kemudian keduanya bersepakat bahwa pembelian dilakukan secara kredit dengan jumlah dan jangka waktu tertentu.

Tetapi ternyata leasing (bank) melunasi terlebih dahulu pada dealer. Maka, sebenarnya yang terjadi adalah pembeli membayar cicilan kepada pihak leasing (bank), bukan pada penjual.

Hal yang demikian bukanlah transaksi jual beli kredit, tetapi transaksi utang piutang yang dilarang oleh syara’.

4. Dalam jual beli kredit, ketika pembeli telah menentukan pilihan atas opsi harga kredit yang ditawarkan, maka harga itu berlaku secara mutlak, tidak bisa berubah. Baik pembeli mampu melunasi tepat waktu, ataupun terjadi penundaan.

Misalnya, jika pembeli sepakat dengan harga Rp 15.000.000, dalam jangka waktu empat tahun, namun akhirnya ia mampu melunasi dalam jangka waktu tiga tahun, maka ia tetap membayar Rp 15.000.000.

Begitu pula sebaliknya, harga kredit tidak mengalami penurunan jika pembayaran dilakukan lebih cepat dari jadwal yang ditentukan.

5. Jika suatu saat pembeli tidak sanggup untuk melanjutkan pembayaran angsuran, maka pembeli berhak untuk mengajukan pemutusan akad kredit. Dengan demikian, pembeli berkewajiban mengembalikan barang yang dikredit, dan penjual harus mengembalikan uang angsuran yang telah dibayarkan oleh pembeli kepada penjual.

Empat ulama mazhab dan mayoritas ulama fikih kontemporer mengakui keabsahan praktik jual beli kredit dengan harga jual lebih tinggi dari harga tunai.

Di antara landasan syar’i yang dijadikan dasar memperbolehkan praktik akad jual beli kredit adalah sebagai berikut:

1. Hukum asal dalam muamalah adalah mubah, kecuali terdapat nash shahih dan sharih yang melarang dan mengharamkannya. Berbeda dengan ibadah mahzhah, hukum asalnya adalah haram kecuali ada nash yang memerintahkan untuk melakukanya.

Dengan demikian, tidak perlu mempertanyakan dalil yang mengakui keabsahan sebuah transaksi muamalah, sepanjang tidak terdapat dalil yang melarangnya, maka transaksi muamalah sah dan halal adanya.

2. Keumuman nash Alquran surah al-Baqarah (2) ayat 275: “… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS al-Baqarah (2): 275)

Dalam ayat ini, Allah mempertegas keabsahan jual beli secara umum, kehalalan ini mencakup semua jenis jual beli, termasuk di dalamnya jual beli kredit, sekaligus menolak dan melarang konsep ribawi.

3. Adanya unsur tolong-menolong dalam transaksi jual beli kredit, dikarenakan pembeli memungkinkan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan tanpa harus langsung membayarnya.

Prinsip tolong-menolong ini sesuai dengan semangat Alquran surah al-Maidah (5) ayat 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”

4. Kepentingan penjual untuk menaikkan harga jual lebih tinggi dari harga tunai, dengan sebab adanya penambahan jangka waktu pembayaran adalah sebagai bagian dari harga jual tersebut, bukan sebagai kompensasi waktu semata yang tergolong riba.

Dan sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa sebuah komoditas mempunyai nilai yang berbeda dan bisa berubah nilainya dari masa ke masa. Di antara jumhur ulama fikih yang berpendapat demikian adalah al-Ahnaf, para pengikut Imam asy-Syafi’i, Zaid bin Ali dan Muayyid Billah.

5. Transaksi muamalah dibangun atas asas mashlahat. Syara’ datang untuk mempermudah urusan manusia dan meringankan beban yang ditanggungnya. Syara’ juga tidak akan melarang bentuk transaksi kecuali terdapat unsur kezaliman di dalamnya. Seperti riba, zalim, penimbunan, penipuan dan lainnya.

Jual beli kredit akan menjadi mashlahat bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah, yang memungkinkan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan keterbatasan dana yang dimiliki.

Dengan demikian, jual beli komoditas dengan cara kredit, yang termasuk di dalamnya kendaraan bermotor, bukanlah transaksi utang piutang atau pun transaksi atas barang ribawi, namun ia adalah jual beli murni yang keabsahannya diakui oleh syariat. Tentunya, dengan ketentuan-ketentuan yang telah tersebut di atas.

Wallahu a’lam

Related Articles

Back to top button